Persaingan pada industri perbankan
yang semakin ketat menyebabkan teori-teori pengelolaan asset-liability semakin
berkembang. Secara spesifik, pendekatan asset liability management memfokuskan
pada hubungan antara tingkat asset-asset variabel (variable-rate assets, VRAs)
dan tingkat utang-utang variabel (variable-rate liabilities, VRLs). VRAs dan
VRLs akan diperbaharui sepanjang waktu sesuai dengan perkembangan pasar. Teori
ini muncul pada tahun 1970-an ketika terjadi fluktuasi tingkat bunga yang
sangat drastis. Tiga jenis strategi asset liability management telah berkembang
yang dikaitkan dengan “jurang pendanaan” (funds gap). Pada dasarnya, funds gap
merupakan selisih antara VRAs dan VRLs. Ketiga strategi tersebut adalah the
zero funds gap, the positive funds gap dan the negative funds gap.
1. The
Zero Funds Gap Strategy
Dengan pendekatan ini manajemen bank
berusaha menyamakan proporsi dari total asset bank yang dialokasikan kepada asset-asset
variable, VRAs (nilainya berfluktuasi sesuai dengan bunga pasar) dengan
proporsi dari total liability bank yang dialokasikan pada liabilities variable,
VRLs (yang nilainya berfluktuasi sesuai dengan perubahan bunga pasar). Misalnya
40 persen VRAs dan 40 persen VRLs. Dengan demikian, bila terjadi perubahan
tingkat bunga di pasar, misalnya naik, maka keuntungan dan kerugian yang
diakibatkan oleh kenaikan tingkat bunga tersebut akan sama. Strategi ini
meminimumkan risiko perubahan tingkat bunga karena perubahan bunga dana yang
diperoleh dan bunga dana yang dipinjamkan akan sama. Dalam teori ekonomi mikro,
ini berarti Marginal Revenue sama dengan Marginal Cost (MR = MC). Kondisi ini
merupakan kondisi optimal bagi setiap operasional perusahaan di dalam berbagai
struktur pasar. Pendekatan ini akan menjaga kestabilan interest earning di
tengah perubahan-perubahan tingkat bunga yang drastis.
2. The
Positive Funds Strategy
Strategi ini menganjurkan agar
rasio-rasio assets variable (VRAs) terhadap total aset harus lebih besar
daripada liabilities variable, VRLs. Misalnya 40 persen aset-aset yang
menghasilkan ditempatkan dalam bentuk VRAs dan hanya 20 persen
pembayaran-pembayaran bunga liabilities dalam bentuk VRLs. Dengan demikian,
bila terjadi kenaikan tingkat bunga di
pasar antarbank, hal itu akan mendapat keuntungan karena tambahan penghasilan
bunga lebih besar daripada tambahan biaya bunga. Dengan kata lain, Marginal
Revenue lebih besar dari Marginal Cost (MR > MC). Sebaliknya, bila terjadi
penurunan tingkat bunga di pasar, bank
akan menderita kerugian karena penghasilan bunga akan menurun lebih besar
dibandingkan dengan penurunan biaya bunga. Strategi ini cocok diterapkan bila
diramalkan bahwa tingkat bunga pasar di masa yang akan datang akan naik.
3. The
Negative Funds Strategy
Strategi ini kebalikan dari positive
funds strategy. Strategi ini menganjurkan agar rasio dari assets variable
(VRAs) terhadap total assets lebih kecil daripada liabilities variable (VRLs)
terhadap total liabilities. Misalnya 40 persen aset dalam bentuk VRAs dan 60
persen liabilities dalam bentuk VRLs. Bila terjadi penurunan tingkat bunga
pasar di masa yang akan datang, maka itu akan menguntungkan bank karena
penurunan beban bunga lebih besar dari penurunan penghasilan bunga. Namun
sebaliknya, bila terjadi kenaikan tingkat bunga pasar, bank akan menderita
kerugian. Tambahan beban bunga akan lebih besar dari tambahan penghasilan
bunga. Strategi ini cocok diterapkan bila diperkirakan akan terjadi resesi
ekonomi di masa datang dan tingkat bunga akan menurun.
Cara penempatan (alokasi) dana bank
dengan mempertimbangkan sumber dana yang diperolehnya terdiri atas 2 (dua)
pendekatan, yang mana kedua pendekatan tersebut masih banyak dipergunakan atau
dipilih oleh eksekutif bank, yaitu :
1.
Pool
of fund approach
Pool of fund approach adalah penempatan
dana bank dengan tidak memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan
sumber-sumber dana seperti sifat dana, jangka waktu dan tingkat harga perolehan
sumber dana tersebut. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 2.1
dibawah ini.
Asset allocation approach adalah
penempatan dana ke berbagai aktiva dengan mencocokkan masing-masing sumber dana
terhadap jenis alokasi dana yang sesuai dengan sifat dana, jangka waktu dan
tingkat harga perolehan sumber dana tersebut. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada gambar 2.2 dibawah ini.
Gambar 2.2 Diagram Assets
Allocation Approach
3.
Perbandingan
Pool of Fund Approach dengan Assets Allocation Approach
Pool of Fund
Approach
|
Assets Allocation
Approach
|
Kelebihan :
q Perhitungan biaya dana relative
sederhana.
q Pengelolaannya tidak kompleks.
|
Kelebihan :
q Mengalihkan penekanan
likuiditas kepada profitabilitas.
q Jumlah rata-rata cadangan
likuiditas mengalami penurunan sehingga alokasi dana dapat dialihkan lebih
banyak pada penyaluran kredit dan penanaman modal dalam surat -surat berharga
yang memiliki keuntungan lebih tinggi.
|
Kelemahan :
q Tidak diberikan dasar untuk
memperkirakan standar likuiditas.
q Tidak terdapat pertimbangan
terhadap perubahan giro, deposito, tabungan dan sumber dana lainnya.
q Mengabaikan likuiditas yang
berasal dari portofolio kredit melalui pembayaran cicilan dan bunga secara
terus-menerus.
q Memperkecil peranan cadangan
sekunder sebagai likuiditas.
q Mengabaikan kenyataan mengenai
kemampuan bank untuk memperoleh laba dari operasinya.
q Mengabaikan peran interaksi
aktiva dan pasiva dalam penyediaan likuiditas secara musiman.
|
Kelemahan :
q Keputusan mengenai jumlah
likuiditas dilakukan berdasarkan perkiraan atau perputaran simpanan.
q Bisa terjadi kelebihan
likuiditas yang menyebabkan keuntungan menjadi berkurang.
q Portofolio kredit dianggap sama
sekali tidak likuid sehingga kredit tidak dianggap sebagai sumber likuiditas
yang potensial.
q Keputusan mengenai manajemen
aktiva-pasiva dibuat secara independen.
|
Tabel 2.1 Perbandingan Kelebihan
dan Kelemahan
Berdasarkan klasifikasi dana dan
asal sumber dana dalam pengalokasian dana yang sudah dijelaskan tersebut,
keduanya menjelaskan adanya pengalokasian dana dalam bentuk surat-surat
berharga dan kredit.
Ø Pengertian Liability Management
Approach
Kegiatan pokok industri perbankan
adalah menghimpun dana dari anggota masyarakat yang kelebihan dana dan
menyalurkannya kembali kepada anggota masyarakat pemakai dana yang memerlukan
dana. Dengan kegiatan tersebut maka akan
tercipta satu mekanisme yang dapat mendayagunakan sumber ekonomi masyarakat
sehingga pada akhirnya akan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi negara. Dalam
meghimpun dana, bank harus mengeluarkan biaya dana yang disebut Biaya Bunga
Dana (Interest Expenses), sementara dalam penyaluran dana kepada pihak yang
membutuhkan dana, bank akan memperoleh bunga dana yang disebut dengan
Pendapatan Bunga Dana (Interest Income). Dari selisih antara biaya yang
dikeluarkan untuk memperoleh dana dengan bunga yang diperoleh karena
meminjamkan dana, maka bank akan mendapatkan selisih pendapatan bunga (Net Interest Margin).
Jika bank dapat menyalurkan seluruh
dana yang dihimpun, maka akan menguntungkan, namun risikonya apabila
sewaktu-waktu pemilik dana menarik dananya atau pemakai dana tidak dapat
mengembalikan dana yang dipinjam dari bank maka akan menggangu likuiditas
bank.. Sebaliknya, apabila bank tidak menyalurkan dananya maka bank juga akan
terkena risiko karena hilangnya kesempatan untuk memperoleh keuntungan. Jika
bank menyalurkan dana (penggunaan dana) lebih lama jangka waktunya dibandingkan
dengan jangka waktu penghimpunan dana (sumber dana) maka akan berisiko juga
apabila sumber dana yang telah jatuh tempo tidak dapat diperpanjang lagi. Atau
sebaliknya, apabila bank menyalurkan dananya (penggunan dana) dengan jangka
waktu lebih pendek dibandingkan jangka waktu penghimpunan dana (sumber dana)
karena hilangnya kesempatan mendapat keuntungan.Demikian pula jika bank
menyalurkan dananya dalam bentuk mata uang negara lain (baik karena keinginan
bank atau keinginan nasabah) atau menghimpun dana dalam bentuk mata uang negara
lain inipun akan berisiko apabila harga uang atau nilai mata uang negara lain
berubah.
Timbul pertanyaan, bagaimanakah dana
yang disimpan dan dana yang disalurkan dapat berputar dengan baik sehingga bank
masih dapat memperoleh keuntungan dan terhindar dari risiko apakah risiko
kekurangan atau kelebihan dana, risiko perubahan suku bunga, risiko perubahan
nilai tukar, risiko lainnya seperti tidak tepatnya komposisi atau pricing
sumber dan penggunaan dana. Risiko
sendiri erat kaitannya dengan kondisi ke depan sementara kondisi ke depan sulit
diperkirakan. Krisis keuangan pada era 1997 yang melanda kawasan Asia termasuk
Indonesia telah membuka wawasan manajemen bahwa risiko keuangan sangat besar
akibatnya, tidak saja pada sektor ekonomi keuangan akan tetapi melanda ke
sektor politik, hukum, moral dan sebagainya.
lnilah tugas utama manajemen bank, yaitu bagaimana menjaga goncangan
yang terjadi sehingga tetap terjaga keberadaannya karena dengan keberadaan
itulah maka bank di satu pihak ikut berperan dalam mendorong laju pertumbuhan
ekonomi dan di pihak lain juga mendorong lalu lintas keuangan internasional. Dengan
demikian, kemampuan mengelola bank akan sangat menentukan kelangsungan hidup
dan pertumbuhan suatu bank sehingga diperlukan tenaga-tenaga yang terampil,
handal, jujur dan profesional di semua lini, tenaga-tenaga yang kritis dan
kreatif serta tanggap terhadap perubahan lingkungan. ALMA (Asset &
Liability Management) dapat diartikan dengan pengelolaan sumber dan penggunaan
dana bank yang saat ini menjadi salah satu titik sentral perhatian manajemen
bank, karena meningkatnya kompleksitas karakteristik asset dan liabilities,
tajamnya persaingan antar bank dan ketidakpastian perekonomian. Dengan
ketidakpastian usaha maka mendorong manajemen bank melakukan pendekatan yang
bertitik berat pada interaksi antara sisi Asset & Liability. Jadi Asset & Liability Management adalah
proses pengendalian aktiva dan pasiva secara terpadu yang saling berhubungan
dalam usaha mencapai keuntungan bank. Asset & Liability Management
merupakan kebijakan dan strategi jangka pendek dalam pencapaian rencana
tahunan.
ALMA (Asset and Liability
Management) adalah suatu proses perencanaan, pengorganisasian, dan pengawasan
melalui pengumpulan, proses, analisa, laporan, dan menetapkan strategi terhadap asset dan liability guna
mengeliminasi risiko antara lain risiko likuiditas, risiko suku bunga, risiko
nilai tukar dan risiko portepel atau risiko operasional dalam menunjang
pencapaian keuntungan bank.
Beberapa
risiko Asset & Liability antara lain :
a. Risiko
likuiditas yaitu risiko yang disebabkan oleh ketidakmampuan bank mengelola
(kelebihan atau kekurangan) dana dalam kegiatan operasional.
b. Risiko
suku bunga yaitu risiko yang disebabkan karena posisi reviewing asset liability
tidak searah dengan perubahan suku bunga.
c. Risiko
nilai tukar yaitu risiko yang disebabkan oleh posisi Asset & Liability
dalam mata uang asing tidak searah dengan perubahan nilai tukar.
d. Risiko
portepel yaitu risiko yang disebabkan oleh struktur Asset & Liability tidak
mendukung effisiensi operasi, seperti komposisi asset kurang menghasilkan
keuntungan dan komposisi liability mengarah ke biaya tinggi. Dalam kaitan
terhadap risiko portepel ini fungsi pengelolaan portepel sangat penting yaitu bagaimana mengusahakan
agar komposisi dana searah dengan komposisi penggunaan dana.
Risiko portepel termasuk fungsi
pengelolaan dana atau Funding Management disebut juga the acquisition of
liabilities atau Deposit and Liabilities Management.
Funding Management mencerminkan bermacam-macam
strategi dalam menghimpun dana dalam jumlah yang besar pada berbagai periode,
berbagai jenis instrumen untuk berbagai tujuan bank dalam meminimalkan biaya
dana dan mengeliminir risiko dana. Pengertian funding management dapat dilihat
dalam arti yang sempit maupun yang luas.
Dalam arti yang sempit, funding management diidentikkan dengan liability
management namun dalam arti yang luas, masalah funding management mencakup
kedua sisi neraca sehingga tidak hanya terkait dengan kemampuan manajemen di
dalam mengelola penghimpunan dana, namun juga bagaimana upaya manajemen di
dalam mengelola dana tersebut pada sisi aktiva.
Dalam perbankan, pengelolaan dana (funding management) tersebut meliputi
pemantauan dan pengarahan struktur dana sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi
sebagai sumber pembiayaan dan pengembangan portfolio di sisi aktiva, di samping
menjaga agar penetapan lending rate tidak menjadi lebih tinggi dari rata-rata
pesaingnya.
Ø TEORI ALMA
1.
Commercial
Loan Theory atau Real Bills Doctrine
Pendekatan ini sangat sederhana.
Untuk menjaga tingkat likuiditas, disarankan agar kredit-kredit yang diberikan
hanya berjangka pendek saja. Dana yang berasal dari masyarakat umumnya
berjangka pendek, oleh karena itu bank umum juga harus menempatkannya pada
jangka pendek. Akan tetapi penyaluran kredit jangka pendek sangat terbatas,
misalnya membiayai proses produksi barang, transportasi barang-barang jadi ke
tempat tujuan, dan di sektor perdagangan. Kegiatan-kegiatan seperti ini sangat
terpengaruh pada kondisi perekonomian secara keseluruhan. Bila perekonomian
lesu, maka kredit di sektor ini menurun dan akan naik jika perekonomian
membaik. Jika bank mengutamakan sektor-sektor seperti ini, maka sektor ini pun
akan kebanjiran likuiditas, sehingga tingkat bunganya juga turun.
2.
The
Shiftability Theory
Asset-asset yang dimiliki
ditransformasikan ke pasar sekunder dalam bentuk surat-surat berharga yang
sangat likuid, seperti treasury bills, commercial paper dan banker’s
acceptance. Bila likuiditas diperlukan, maka asset-asset ini dengan mudah dapat
dijual. Akan tetapi bila banyak bank menganut philosophyini, akan terjadi
overlikuid surat-surat berharga di pasar yang menyebabkan berkurangnya
keuntungan yang akan diperoleh.
3.
The
Pool of Funds Approach
Pendekatan ini bertujuan untuk
memastikan keuntungan meskipun dalam jangka pendek. Pendekatan ini menganjurkan
agar dana-dana yang masuk dikumpulkan dalam suatu tempat. Kemudian dialokasikan
ke pos-pos menurut urutan tingkat kepentingannya. Pertama, memenuhi cadangan
wajib. Selanjutnya, baru memperkuat basis cadangan sekunder atau investasi
jangka pendek yang tingkat likuiditasnya cukup tinggi. Tambahan selanjutnya
baru digunakan untuk membeli surat-surat berharga jangka panjang dengan tujuan
untuk mendapatkan keuntungan. Kelemahan pendekatan ini antara lain adalah
konsentrasi terhadap tingkat likuiditas akan mengurangi kemampuan bank dalam
menciptakan keuntungan. Alokasi dana tanpa memperhatikan sumbernya akan
menyulitkan pengelolaan asset-liability.
4.
The
Anticipated Income Theory
Teori ini berkembang tahun 1950-an
sebagai reaksi terhadap ketidakpuasan akan likuiditas yang tersedia. Teori ini melihat bagaimana memperlakukan
loan sebagai sumber likuiditas yang tersedia. Jadi, dengan melihat kapan si
peminjam akan mengembalikan pinjamannya, merupakan basis likuiditas pada saat
yang sama. Dengan metode seperti ini
akan terjadi aliran dana secara kontinu yang dapat menjamin likuiditas. Bila
terjadi krisis likuiditas, bank dapat menjual loan untuk memperoleh cash di
pasar sekunder. Cara ini menghendaki kesamaan antara loan yang jatuh tempo dan
pinjaman-pinjaman jangka pendek yang membiayai inventory. Pada dasarnya, teori
ini tidak jauh berbeda dengan commercial
loan theory, tetapi cukup dengan persediaan surat-surat berharga yang
lebih sedikit.
5.
Conversion
of Fund Approach
Perkembangan lembaga-lembaga
keuangan nonbank telah mengubah struktur sumber-sumber dana dan penyalurannya.
Tiap-tiap sumber memiliki perilaku, biaya, dan cadangan resmi yang berbeda.
Pendekatan ini memperlakukan tiap-tiap sumber pembiayaan secara individual.
Dana-dana jangka panjang akan dialokasikan ke pinjaman jangka panjang. Demikian
juga dengan sumber-sumber jangka pendek akan disalurkan ke kredit-kredit jangka
pendek. Jadi, setiap utang dicocokkan dengan asset yang sesuai perilaku, biaya,
dan cadangan resminya. Keunggulan dari pendekatan ini adalah mengutamakan pada
tingkat keuntungan bukan pada tingkat likuiditas. Dampaknya mengurangi cadangan
likuiditas dan memperbesar loan dan investasi.
Referensi :